KEHADIRAN Audy memutus dominasi kaum tua di kancah perpolitikan Sumatera Barat. Dia adalah pelepas dahaga di waktu tak terduga. Pertanyaannya, mampukah Audy menulis namanya dalam lipatan sejarah? Atau barangkali hanya akan tenggelam di kursi kekuasaan?
Audy fenomenal. Itu harus diakui. Dia datang tiba-tiba, lalu menjadi calon wakil gubernurnya Mahyeldi, wali kota Padang yang sejak genderang pemilihan gubernur ditabuh, sudah digadang-gadangkan menang. Orang masih berkelindan dalam komunikasi politik, saling lobi, Audy malah mendapatkan tiket dengan gampang. Maju bersama Mahyeldi, menang. Padahal, Pilgub Sumbar langkah pertamanya dalam kancah politik. Kurang fenomenal apalagi.
Sebelum diusung PPP menjadi bakal calon wakil gubernur, Audy entah siapa. Asing bagi orang Sumbar. Saya saja 15 tahun lebih jadi jurnalis, tak kenal Audy. Apalagi orang umum. Tapi dia mampu memoles dirinya sendiri. Memoles diri secara positif itu tak gampang. Jadi buruk yang mudah. Cukup teriak-teriak tidak berkejelasan di tengah pasar, rekam, unggah ke media sosial, selesai. Anda terkenal, tapi diiringi caci maki.
Untuk memoles jadi baik sulit. Apalagi di Sumbar, negeri yang batas puji dan cimeeh itu absurd. Saya terbiasa bekerja memoles politikus, beragam tingkahnya. Jangankan untuk mengapungkan ke publik, mencari bagian yang baik untuk dipoles saja payah. Butuh waktu lama, kadang habis waktu setahun, acap dibikin drama, butuh viral!
Audy? Hitungan bulan namanya melambung. Jadi bahan pembicaraan. Idola. Bahkan dianggap sebagai representasi anak muda di kancah politik. Terlepas dari ketokohan Mahyeldi yang mengiringi langkahnya, dia memang santiang.
Dia melesat. Jargonnya milenial manang. Saya terperanjat. Menerka-nerka. Orang-orang lain saya yakini juga begitu. Jangan-jangan dia tipikal kebanyakan anak-anak orang kaya, yang terjun ke dunia politik untuk mencari mainan semata.
Siapa anak muda ini? Ujuk-ujuk datang, lalu menceburkan diri ke kancah politik Sumbar yang dikenal penuh intrik. Jujur, berhari-hari saya observasi, mencari data-data Audy. Tentang keluarganya, latar belakang, pekerjaan, bahkan hal-hal mendetail lainnya. Banyak orang yang saya temui, di Sumbar, Jakarta, bahkan kolega di Makassar saya hubungi, hanya untuk tahu, siapa anak muda plontos yang katanya ingin menjadi wakil gubernur.
Pencarian saya itu bermuara ke satu hal: Selain berasal dari keluarga berada, Audy anak muda cerdas, bernas, punya ilmu dan pekerja keras.
Rasa penasaran itu pula yang mempertemukan saya dengan Audy pertengahan Oktober tahun lalu. Metek Zuhrizul, praktisi pariwisata sekaligus ketua relawan Mahyeldi – Audy yang menggagas pertemuan. Ketika bertemu, suhu politik di Sumbar sedang panas-panasnya.
Metek beberapa kali meminta saya membantu Audy secara pemikiran, terutama terkait tata kelola media massa dan media sosial. Kali pertama pertemuan saya menolak. Walau penasaran, tentu tidak serta merta saya menyanggupi. Beragam alasan, beragam pertimbangan