Tindakan korup yang dilakukan oleh seorang Kepala Daerah, menurutnya tidak hanya berdampak terhdap individu itu sendiri, melainkan terhadap sistem pemerintahan.
"Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, selain berdampak pada individu yang bersangkutan, juga berdampak pada sistem pemerintahan, termasuk kepercayaan publik terhadap pemerintah," katanya.
Tergerusnya kepercayaan publik ini juga dapat menghambat pembangunan yang seharusnya bisa dilakukan dengan maksimal.
Tak hanya itu, hal ini juga dapat mengganggu sistem pemerintahan sebagai tulang punggung jalannya administrasi pemerintahan dan kenegaraan.
“Saya sangat yakin banyak sekali kepala daerah yang berprestasi, yang telah melakukan kinerja dengan sangat baik, namun apa pun juga, masalah-masalah hukum yang dalam bulan ini ditangani oleh penegak hukum, wabil khusus KPK, ini akan berdampak kepada kepercayaan publik,” katanya.
Ia mengatakan, beberapa hal menjadi penyebab terjadinya tindak pidana korupsi yang kerap dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Kepala Daerah.
Ia mengatakan, pihaknya telah melakukan analisis terkait penyebab terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia selama ini.
"Sebagaimana hasil analisis yang telah dilakukan Kemendagri, penyebab pertama yakni masih adanya sistem yang membuka celah terjadinya tindakan korupsi," katanya.
Selain itu, sistem administrasi pemerintahan yang tidak transparan, politik berbiaya tinggi, dan rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) dengan imbalan juga menjadi penyebab.
Menurutnya, sistem yang masih mengandalkan pertemuan fisik, alur birokrasi yang berbelit-belit dan regulasi yang terlalu panjang memberikan celah seorang ASN melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
"Penerapan sistem administrasi pemerintahan seperti itu berpotensi memunculkan tindakan transaksional," katanya.
Ia mengatakan, perlu penerapan sistem administasi pemerintahan yang lebih transparan dan mengurangi kontak fisik untuk menutup celah tersebut.
"Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan layanan digitalisasi di berbagai bidang, mulai dari perencanaan hingga eksekusi kebijakan," katanya
Ia menuturkan, hal tersebut nantinya yang akan memunculkan konsep smart city, smart government dan e-government.
“Banyak saya kira hal-hal tindak pidana korupsi by system karena sistemnya, oleh karena itu perbaikan sistem perlu kita lakukan,” lanjutnya.
Penyebab kedua menurutnya adalah kurangnya integritas yang dimiliki individu, sehingga memunculkan tindakan korupsi.
"Hal itu juga didorong dengan kurangnya kesejahteraan yang didapatkan oleh penyelenggara negara," katanya.
Karena itu, aspek kesejahteraan perlu dipikirkan untuk mencegah terjadinya korupsi. Meski hal itu juga tidak sepenuhnya menjamin mampu menghilangkan perilaku korup.
“Tapi yang hampir pasti kalau semua kurangnya dia berusaha untuk mencari dan akhirnya melakukan tindak pidana korupsi,” lanjutnya.
Penyebab ketiga, menurutnya adalah terkait dengan budaya (culture). Pasalnya, seringkali ditemukan praktik-praktik yang salah, tapi dianggap benar karena kebiasaan.
Ia mencontohkan, adanya pimpinan yang menganggap bahwa prestasi bawahan diukur dari loyalitas yang salah kaprah.
“Budaya-budaya (korupsi) ini harus dipotong, dan ini memerlukan kekompakan dari atas sampai dengan bawah, memiliki satu mindset, frekuensi yang sama,” lanjutnya.
Ia menekankan, tindak pidana korupsi harus ditekan seminimal mungkin untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Karena dengan terselenggaranya pemerintahan yang bersih, diharapkan pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan ASN akan ikut meningkat.
“Kesejahteraan ASN, misalnya, itu akan dapat didongkrak dan naik, sehingga salah satu solusi untuk menekan tindak pidana korupsi,” tuturnya.
Ia berpesan, penyebab-penyebab tersebut perlu diatasi. Namun, upaya itu memerlukan kekompakan dari struktur paling atas hingga jajaran yang di bawah.
Dirinya sendiri mengaku telah menyampaikan hal itu kepada jajarannya.