Kasus Mario Dandy, Mantan Ketua KPK Sarankan Lakukan Investigasi

Kasus Mario Dandy, Mantan Ketua KPK Sarankan Lakukan Investigasi
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Foto: Istimewa)
HALONUSA.COM - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad menyatakan bahwa kasus Mario Dandy Satrio menjadi pintu masuk untuk membongkar kekayaan pejabat dan pegawai pajak di Indonesia.

"Kasus ini jadi pintu masuk untuk menelusuri harta kekayaan pegawai negeri. Jangan berhenti di Rafael saja, saya khawatir pegawai atau pejabat pajak keuangan jangan-jangan seperti itu semua," katanya.

Menurutnya, dengan keadaan tersebut KPK punya kewajiban untuk melakukan investigasi serta tidak boleh tinggal diam terhadap kasus tersebut.

Sebelumnya, KPK sedang melakukan pemeriksaan terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Rafael Alun Trisambodo, seorang pejabat pajak.

Berdasarkan LHKPN tersebut, Rafael memiliki kekayaan senilai Rp 56,1 miliar yang dianggap sangat fantastis oleh warganet.

“Sekarang yang bersangkutan sedang kita lakukan pemeriksaan. Untuk mengetahui hasil laporan LHKPN,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, Kamis 24 Februari 2023 malam.

Rafael Alun Trisambodo adalah ayah dari Mario Dandy Satrio (MDS), pelaku dalam kasus penganiayaan terhadap pengurus GP Ansor Jonathan Latumahina yang terjadi di Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

Pemeriksaan LHKPN tersebut dilakukan oleh KPK karena Rafael dicurigai memiliki harta kekayaan yang luar biasa, meskipun hanya menjabat sebagai pejabat eselon III Kabag Umum Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan II.

“Dengan profil yang bersangkutan, profilnya enggak match yang cuma pegawai eselon III,” ucapnya.

Pihaknya ingin mengetahui asal harta kekayaan yang dimiliki Rafael tersebut.

“Kita ingin harta kekayaan itu dapat dipertanggungjawabkan yang bersangkutan,” ujarnya.

Selain itu, KPK mencurigai bahwa tidak semua harta Rafael dilaporkan dalam LHKPN, termasuk mobil Jeep Rubicon yang dikendarai oleh anaknya.

Pahala juga menekankan bahwa penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 sangat lemah, karena undang-undang tersebut hanya memberikan sanksi administratif bagi pelaporan LHKPN yang tidak sesuai.

“Regulasi kita tentang LHKPN sangat lemah ada UU 28 Tahun 1999 kalau tidak menyampaikan sanksinya administrasi dilakukan oleh atasan,” ujarnya.

Selain itu, menurutnya, dalam penerapan undang-undang tersebut, jika LHKPN yang disampaikan tidak mencantumkan besaran harta kekayaan, maka sanksinya tidak dijelaskan dengan jelas.

“Menyampaikan tidak disebut angkanya, tidak disebut juga sanksinya. Dan menyampaikan tidak lengkap, tidak disebut juga sanksinya,” kata Pahala.

Dengan kondisi ini, KPK tengah melakukan revisi aturan turunan dari undang-undang tersebut terutama menyangkut tentang sanksi.

“Karena selama ini kita serahkan ke atasan instansi masing-masing, kalau saya bilang responsnya sangat jelek dan tidak banyak,” kata Pahala. (*)

Berita Lainnya

Index