Banyaknya terjadi perkawinan beda agama agama di Indonesia menimbulkan beberapa pertanyaan. Bagaimana pengaturan hukum perkawinan di Indonesia dan bagaimana pencatatannya?.
Perkawinan beda agama agama yang dimaksud yakni perkawinan yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia dan atau dengan warga negara lain yang berbeda agama.
Pengaturan perkawinan beda agama agama di Indoenesia pada awalnya diatur secara tegas oleh Regeling op de gemengde Huwelijken (Hukum Perkawinan Campuran) Stb.1898 No. 158 dimana Pasal 1 menyebutkan: “Yang dimaksusd dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang tunduk pada hukum yang berlainan, yaitu perkawinan antara golongan penduduk bumi putra degan seorang dari golongan eropa atau timur asing atau antara seorang golongan eropa dengan seorang penduduk timur asing”. Kata-kata “tunduk pada hukum yang berlainan” dalam pasal ini memberikan peluang pada awalnya untuk terjadinya perkawinan beda agama. Hal ini terus berjalan sampai keluarnya undang-undang perkawinan yang baru.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, maka RGH Stb 1898 No. 158 seharusnya tidak berlaku lagi. Karena Pasal 66 undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa: “untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka Burgerlijk Wetbook, Huwelijks Ordonantic Cristen Indonesia, Regeling ep de Gemende Huwelijken, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku”.
Perdebatan persoalan ini didasarkan oleh kalimat dalam Pasal 66 yang memuat “sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini”. Undang-Undang Perkawinan tidak memuat aturan perkawinan beda agama, sehingga peluang pengaturan perkawinan beda agama yang dipahami dari RGH 1898 No. 158 tersebut bisa diberlakukan. Karena Pasal 66 tersebut diinterpretasikan bahwa tidak diaturnya perkawinan antar pemeluk agama dalam undang-undang perkawinan, dengan demikian, tidak ada larangan di dalam Undang-undang tentang perkawinan antar pemeluk agama, sepanjang institusi agama dimana calon mempelai mengizinkan perkawinan tersebut. Interpretasi ini menguat karena pada kenyataannya banyak pihak yang melakukan perkawinan antar pemeluk agama.
Seharusnya interpretasi ini tidak bisa diterima karena undang-undang perkawinan juga mengatur tentang perkawinan campuran. Pasal 57 menyebutkan “yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewargaan Indoensia”. Bunyi pasal ini merupakan penegasan dari bunyi pasal yang terdapat dalam RGH. Sehingga interpretasi yang mengindikasikan kebolehan perkawinan beda agama seharusnya tidak dibenarkan lagi karena sudah ditegaskan oleh kekhususnan bunyi pasal 57 undang-undang perkawinan tersebut. sehingga perkawinan beda agama tidak lagi dilakukan di indonesia. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 2 (1) Undang-undang perkawinan yang menyebutkan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.Akan tetapi undang-undang perkawinan memberikan peluang kepada warga negara Indonesia untuk melakukan perkawina beda agama sekalipun perkawinan tersebut dilakukan di luar wilayah Indonesia. Karena Pasal 56 menyebutkan: “perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini”. Maksudnya adalah perkawinan yang dianggap tidak melanggar ketentuan dalam undang-undang perkawinan bilamana hukum negara lain sebagai tempat perkawinan itu membolehkan perkawinan tersebut. maka warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan beda agama di luar negeri tidak menyalahi undang-undang perkawinan dengan syarat hukum perkawinan negara tempat dilangsungkannya perkawinan itu membolehkan perkawinan beda agama. Sehingga pencatatan perkawinannya bisa dilakukan di indonesia.
Pada tahun 1983 keluar Keputusan Preseiden Nomor 12 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil dimana Pasal 1 (2) mengatur tentang wewenang Catatan Sipil yang hanya berwenang mencatat perkawinan orang-orang yang tidak beragama Islam. Akan tetapi kenyataannya perkawinan beda agama tersebut masih banyak terjadi. Hal ini menandakan bahwa perkawinan beda agama bisa dicatatkan.
Pada tahun 2006 lahir Undang-Undang Nomor 23 tentang Administrasi kependudukan, dimaana Pasal 34, 35 memuat tentang pencatatan perkawinan dan Pasal 35 huruf a menyebutkan bahwa: “ perkawinan yang ditetapkan pengadilan. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa yang dimakasud dengan perkawinan yang ditetapkan pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Undang-undang ini dirubah pada tahun 2013 Nomor 24 dan tidak merubah ketentuan pasal 34, 35 Undang-undang Nomor 23. Artinya perkawinan beda agama bisa dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Akhirnya pada tahun 2023 keluar Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Isi surat edaran ini memuat 2 poin. Pertama: tentang keafsahan perkawinan mengacu pada Pasal 2 (1) Undang-Undang Perkawinan. Kedua: Pengadilan tdiak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan mengacu kepada sema ini maka perkawinan beda agama seharusnya tidak terjadi lagi di Indonesia. Namun Pasal 56 Undang-undang Perkawinan tentang pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar negeri masih tetap berlaku. Dengan demikian peluang perkawinan dan pencatatan perkawinan beda agama masih tetap terjadi apabila kantor pencatatan sipil tidak mempedomani Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1983. Kesimpulannya adalah pencatatan dan perkawinan berberda agama secara hukum negara ini tidak boleh dilakukan oleh warga negaranya karena bertentangan dengan aturan yang ada. (*)