Serial Minangkabau dalam Pikiran Cak Imin (1): Berpikirlah Seperti Orang Minang

×

Serial Minangkabau dalam Pikiran Cak Imin (1): Berpikirlah Seperti Orang Minang

Bagikan berita
Muhaimin Iskandar|Muhaimin Iskandar (Foto: IG @cakiminow)
Muhaimin Iskandar|Muhaimin Iskandar (Foto: IG @cakiminow)

Oleh: Muhaimin Iskandar

BEBERAPA waktu lalu, di tahun-tahun politik yang panas, saya dalam kondisi pelik dalam mengambil keputusan. Entah mengikuti arus, entah melawan. Saya gamang melangkah, gugup bertindak. Ruang gerak yang sempit kian merumitkan.

Sementara dalam kekakuan, waktu terus berjalan. Ia (waktu) sedikit juga tidak mau menunggu. Keputusan yang akan saya ambil memang harus cepat, sebab akan menentukan nasib jutaan orang, bahkan arah dan nasib Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saya nakhodai. Sungguh teramat pelik.

Sebagai politisi, saya memang terbiasa dihempas badai, sudah sering dalam kondisi tak enak. Tapi waktu itu, badai yang datang tak biasa. Ia beriringan dengan gemuruh yang hebat. Di ujung kepasrahan, saya menemui beberapa sepuh, orang-orang tua yang kenyang pengalaman. Minta petunjuk. Saya memang terbiasa seperti itu. Tak mau buru-buru memutuskan sesuatu. Bagi saya, musyawarah mufakat, adalah harga mati. Apalagi jika keputusan yang akan diambil menyangkut hajat orang banyak.

Baca juga:

Dari sekian banyak sepuh yang saya temui, ada satu orang yang hanya berucap satu kalimat. “Berpikirlah seperti orang Minangkabau,” katanya. Ini satu kata yang magis. Saya tersentak. Jaga dari keragu-raguan. Ya, saya harus berpikir seperti orang Minang. Orang-orang cadiak pandai dari Pulau Andalas. Orang-orang yang dalam memutuskan suatu perkara penuh kehati-hatian. Samuik tapijak indak mati.

Para pemikir Minangkabau selalu punya spirit dalam bertindak, dan tak pernah gamang dalam mengambil keputusan. Indak ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak ka Janiah. Demikian falsafahnya. Saya terlecut untuk berpikir jernih dalam mengambil keputusan. “Berpikirlah seperti orang Minang,” kata itu terngiang. Ya, pada akhirnya, saya “menjadi” orang Minang dalam mengambil keputusan pelik itu, dan saya yakini, keputusan yang saya ambil tepat. Nasib politik banyak orang terselamatkan, PKB melaju dan kini masuk dalam deretan partai pemenang dalam pemilihan umum.

Setelah badai politik berlalu, saya kian gandrung untuk “menjadi” orang Minang, dalam artian selalu menyelami kebiasaan-kebiasaan Minang, dan mengamalkannya dalam kehidupan. Semakin saya mempelajari Minangkabau, semakin saya jatuh cinta. Barangkali, nilai-nilai yang terkandung dalam adat dan budaya Minang pulalah yang membuat Agus Salim bisa menjadi diplomat ulung. Menjadi pencerah bangsa.

Kekaguman pada Minangkabau itu pula yang membuat saya berkali-kali datang ke Sumatera Barat (Sumbar), yang menjadi pusat Minangkabau. Datang ke Sumbar, bagi saya seperti datang ke gudang ilmu. Segala ada.

Setiap mengunjungi Sumbar, saya selalu menyempatkan berdiskusi. Dengan siapa saja. Saya yakin, orang Minang memiliki doktrin politik yang kuat, yang tak diajarkan di bangku sekolah. Ilmu politik yang mereka punya diasah dari surau ke surau, lapau ke lapau, hingga ke tanah tanah perantauan.

Saya suka berlama-lama di surau, duduk di lapau, mendengar ota orang Minangkabau. Kalau ada waktu luang di Jakarta, saya main-main ke Tanah Abang, tempat orang Minang banyak berniaga. Sekadar berdiskusi dan bertukar pikiran. Segala hal didiskusikan dengan bernas. Surau dan lapau memang menjadi wadah penting dalam mengasah keterampilan diplomasi orang Minangkabau. Itulah kenapa tak ada orang Minang yang buta politik, sekalipun dia tidak bersekolah tinggi.

Editor : Redaksi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini